Januari, 2021.
“Tahun sudah berganti Jo, nasib kita
yang enggak berubah,” ucap seorang lelaki ke teman di sampingnya.
“Hahaha benar,
sebelum pandemi sudah miskin, sekarang tambah miskin.” Dia tertawa terbahak-bahak,
nasibnya adalah humor baginya.
Mereka berdua
adalah Bima dan Johan. Sepasang sahabat yang sepakat untuk menikmati malam
tahun baru dengan bersumpah serapah akan nasibnya: dipecat dari pekerjaan
mereka.
Malam semakin
larut, tawa mereka berdua membanjiri suasana yang sepi, menembus dinding sunyi,
dan langit yang tak lagi berhiaskan kembang api. Duduk di gubuk tepi jalanan yang
muram, hanya ada angin yang gemar berlalu di permukaannya. Di atas papan kayu
yang nyaris kopong dimakan rayap, dengan kehadiran 2 gelas kecil yang berisi minuman
berbau tak sedap menengahi mereka berdua.
“Diingat-ingat,
pandemi hampir setahun tinggal di negara kita. Makin lama makin kurang ajar,
sudah menumpang enggak tahu diri.” Bima menyenderkan badannya yang kekar ke
dinding kayu gubuk itu. Kedua tangannya memegangi kepala sembari mengacak-acak
rambutnya yang sudah lama tidak bertemu mesin cukur.
“Benar juga
kamu Bim, ada baiknya kita sowan langsung ke hadapannya, kita bicarakan
baik-baik, seperti kata Pak RT.” Wajah Johan mendadak serius.
Bima
mengerutkan keningnya, memandang heran Johan yang makin melantur. “Kita sudah
miskin, jangan sampai goblok juga.”
“Loh? Kamu ini
gila, mengharapkan kebenaran akan keluar dari orang yang mulutnya bau ciu.
Ada-ada saja.” Johan terkekeh. Ia mengambil botol hijau dari bawah papan kayu
yang didudukinya, dan menuangkannya ke gelas Bima. “Nah, minum. Kok bisa kamu
yang sadar lebih ngawur ketimbang aku yang setengah teler.”
Bima meneguk
minumannya dengan hati-hati. Sementara Johan sibuk melamun, mendambakan
kekayaan. Matanya merah karena terlalu sering begadang. Tak ada lagi hasrat
untuk saling berbicara. Mereka berdua mulai disibukkan dengan gelas masing-masing,
tak ada lagi takaran yang ideal untuk mengisi ruang kosong di gelasnya. Berulang
kali menuang dan meminum, yang keluar dari bibir mereka hanyalah kalimat yang susunan
katanya tidak menentu. Dada Bima basah kuyup berlumur ciu.
Kekelaman malam
itu melahap Bima dan Johan dengan cepat. Hening kembali mengambil alih.
***
Desember, 2020
Terik pagi mengguyur Bima. Langit
biru bersih, burung bersiul, anak-anak berlarian dan tertawa, akan menyenangkan
bila berharap kebajikan di pagi hari yang menjanjikan kehangatan ini. Ia
mengenakan kemeja putih polos, dan celana bahan berwarna hitam. Rambutnya
tersisir rapi ke belakang. Tidak ada sedikit pun kebengisan yang terpancar di seri
wajahnya, ia berpamitan dengan istri dan anaknya yang baru berumur 1 tahun. Dan,
mulai berjalan meninggalkan keluarga kecilnya.
Jalan raya
begitu ramai, dan tak ramah. Suara klakson dan suara mesin dari kendaraan
menjadi parade yang tak kunjung usai. Para pedagang menimpalinya dengan
nyanyian khas masing-masing, sesuai dengan jajaan mereka. Matahari mulai
meninggi, menggeragas kulit Bima, berkali-kali harus mengelap keringat dengan
lengannya.
Sudah hampir
setengah jam ia berdiri di trotoar, di bawah langit perkotaan yang penuh
polusi. Tiba-tiba siulan sumbang menusuk masuk ke telinga Bima, siulan itu
berasal dari mesin tua mobil angkutan kota yang berhenti tepat di depannya.
Sang sopir tampak kelelahan, ia tidak bersuara, melainkan hanya mengayunkan
telapak tangannya. Bima yang memahami isyarat itu segera masuk, tubuhnya yang tinggi
mengharuskannya menunduk melewati pintu yang tingginya hanya sekitar 1,5 meter.
Hanya tersisa sedikit ruang di belakang, mata para penumpang seakan mengisyaratkan
penolakan terhadap dirinya, dua kursi panjang yang sedikit empuk sudah terisi
penuh. Semua berimpitan satu sama lain, berebut oksigen. Bima mengeluarkan
masker dari saku, dan segera memakainya.
Satu-persatu penumpang
turun, meninggalkan teritorialnya. Kini, tersisa Bima dan sang sopir. Bima
meluruskan kakinya, leluasa bergerak setelah harus terjebak, menjadi korban
ketamakan sang sopir yang selalu mengangkut penumpang tanpa melihat ke kursi
belakang. Pandangan Bima terlempar keluar, menyusuri setiap sudut jalanan. Di
mana ada pengemis, pengamen, dan peminta-lainnya dengan modus yang berbeda, tak
terbayangkan olehnya jika kelak harus menjadi bagian dari mereka. Bima selalu
tak paham dengan mereka yang mengidam-idamkan ketenteraman hidup di kota, sebab
yang di lihatnya hanya kekejian, lingkungan yang tak ramah, semua sibuk dengan
dunianya sendiri, terburu-buru mengejar entah apa, dan polusi yang membunuhnya
sedikit demi sedikit.
***
Angkutan yang ditumpanginya terhenti,
ia turun dan menyodorkan beberapa lembar uang kertas ke sang sopir.
Kakinya
mendarat tepat di depan gedung 3 lantai yang berdiri di antara gedung-gedung
tinggi. Sang sopir meninggalkannya, melaju berambisi demi keluarga di rumah tapi
tak menghiraukan kenyamanan pelanggannya, tuntutan pekerjaan memang
menyedihkan. Dan satpam tersenyum menyambutnya, masih dengan tuntutan
pekerjaan. Bima melangkah di pelataran gedung itu. Bangunannya terlihat sudah
cukup tua, jam besar yang bersarang di dinding itu sedikit usang, setiap detiknya
menciptakan debar luar biasa di detak jantung Bima yang menanti peruntungannya.
Doa baik
dipanjatkan sebelum memasuki ruang peruntungan, pintu kaca itu mencicit ketika
dibuka. Seorang lelaki paruh baya duduk tegap di kursi ergonomis memakai jas
berwarna hitam, ia mempersilahkan Bima duduk di depannya. Keduanya terlibat
pembicaraan yang serius, Bima tampak mengeluarkan berkas-berkas dari tasnya,
dan di baca dengan saksama oleh lelaki itu. AC mendesis terus menerus,
membekukan suasana. Bima kerepotan mengatur raut wajahnya, ia harus tetap
tersenyum bahkan di saat menegangkan.
Perundingan
masih berlanjut, kali ini berkas itu kembali diserahkan ke Bima, tidak lama
mereka bersalaman. Bima membereskan miliknya dan beranjak meninggalkan meja
diskusi. Sepertinya kursi ergonomis dibuat senyaman mungkin karena seseorang
yang duduk di atasnya akan menghadapi ketegangan dan kegelisahan. Lorong-lorong
gedung itu tak bisu, mendesas-desuskan takdir buruk akan menimpa secara
berkelanjutan.
“Diam!” Suaranya
membungkam mulut lorong itu.
Seketika hiruk
pikuk lekas mengisi lorong itu, pandangan orang yang lalu mengepung Bima. Ia
ketakutan, sangat takut, kedua tangannya menyumbat rapat-rapat pendengarannya.
Satpam muncul, mereka tergesa-gesa, menarik paksa tubuh Bima dan mengusirnya.
Tidak ada senyuman lagi, mereka menggusarinya laksana seorang kesatria yang
diusir dari istana karena kesalahannya.
Istri dan
anaknya berdansa di benaknya, ia membayangkan hari-hari di mana anaknya
menangis pijar meminta susu, dan istrinya terus mengomel karna ekonomi yang tak
kunjung membaik.
***
Pecahan kaca berserakan di dapur.
“Azmi sudah
tidur, dia bisa terbangun karena keributan ini,” kata perempuan berambut
panjang di depan Johan.
“Anjing! Sekian
banyak takdir baik, kenapa kita dapat yang jelek, Lastri istriku? Haha asuu!”
umpatan demi umpatan bergantian keluar dari tenggorokan Johan.
Lastri, begitulah
Johan memanggil perempuan itu. Tangannya bergetar, raut muak atas segala yang
dilakukan suaminya terlukis jelas di parasnya. Johan tak bersuara lagi, ia
duduk di kursi dapur, tempat biasa istrinya meracik bumbu. Lastri masih
bingung, kini ia mencoba menyeka air matanya. Pikiran buruk mulai meracuni kepalanya.
Mereka berdua
terpaku.
“Maaf.” Suaranya
terdengar dari arah Johan.
“Ha? Maaf Mas?
Kamu ini loh, kerjaannya marah-marah sama ketawa enggak jelas, barang dihancurin.”
Giliran Lastri untuk menyalakan amarahnya, kendati matanya tetap menangis. “Kalau
kaya begini terus, aku mau pulang, Mas. Ke Kampung, aku bawa Azmi juga ke
Neneknya. Mungkin hidup di sana enggak kenyang, tapi setidaknya aku enggak
selapar di sini.” Lastri meninggalkan Johan sendirian di dapur.
Johan ternganga
mendengar semua yang dikatakan Lastri. Meskipun dirinya terlihat tidak peduli,
Lastri adalah pemilik semua ruang kosong di hati Johan. Beberapa tetes air yang
entah dari mana asalnya membasahi pipinya; membasahi meja kayu di depannya. Tergopoh-gopoh,
ia mengangkat tubuhnya. Beranjak dari kursi itu; mengambil sapu dan membereskan
semua yang dihancurkan olehnya.
Ekonomi
benar-benar serius berniat menghancurkan hubungan Johan dengan istrinya. Sudah
hampir setahun, sejak dirinya berhenti bekerja di perusahaan milik temannya. COVID-19
tidak hanya menyerang kesehatan jasmani manusia, pun rohaninya. Setiap hari,
media gemar sekali memberitakan jumlah korban yang terus bertambah, kematian di
mana-mana, dan masih banyak berita jelek lainnya.
Sementara itu,
Lastri masih belum tidur. Matanya memang sudah menutup, tapi air matanya deras
mengalir, tidak kunjung selesai. Dalam pelukannya, anaknya tertidur pulas.
Dengan tenang, tidak repot turut memikirkan nasib keluarganya. Malam ini
menikam dalam-dalam hati sepasang manusia.
***
Jika hidupku sekarang adalah hasil
dari pilihan-pilihan terdahulu,
Aku tidak akan menyesal, tapi aku
sedih.
Dan, jika aku hidup hanya mengikuti
takdir,
Aku juga tidak menyesal, tapi aku
sedih.
Karena ternyata, aku tidak
benar-benar hidup.
Aroma bumbu menyusuri seisi rumah, suara air mendidih, dan api
kompor yang menyala. Jam 9 pagi, lazimnya semua ibu akan mengisi waktunya
dengan menyiapkan makanan untuk keluarganya, mungkin tidak bagi mereka yang
setiap paginya sudah meninggalkan rumah untuk kegiatan lain, seperti bekerja.
“Kamu lagi sibuk, ya?” Bima, sembari menuangkan air ke gelas di
tangannya.
“Iya, kenapa?” Istrinya menjawab tanpa memalingkan badannya.
“Si Adek, nangis. Lapar kayaknya.”
“Buatkan susu aja, Mas.”
Bima membuka stoples di atas lemari.
“Loh, kosong. Uangku tinggal segini.” Ujar Bima sembari membeberkan
beberapa uang miliknya. “Kalau beli yang di warung depan cukup sih.”
“Ya sudah, seadanya saja. Besok kita makan batu,” Ia menggelengkan
kepalanya. Matanya melirik Bima yang masih memegang uang itu.
Bima menghela napasnya, menghitung uangnya lagi, dan pergi
meninggalkan istrinya tanpa sepatah kata pun.
Kedua tangannya masih sibuk dengan lembaran kertas bernominal itu.
Menghitungnya lagi, lagi, dan lagi. Menyusuri gang sempit, menuju ke warung
terdekat. Dari jauh sudah terdengar riuh antara penjual dan pembeli. Tidak,
lebih tepatnya si penjual lebih dominan.
“Kemarin dulu dibayar, baru boleh hutang lagi.” Dengan nada tinggi si
penjual mengatakannya.
“Nanti sore pasti saya bayar, Bu,” wajah si pembeli mulai terlihat
jelas. Tampaknya Bima cukup mengenal orang itu.
Bima sampai di warung tujuannya, dan segera menanyakan apa yang
terjadi di sana. “Lastri? Istri Johan kan? Ada apa gaduh-gaduh?”
Tak sempat Lastri menjawab pertanyaan dari Bima, si penjual kembali
mengambil alih suasana. Menjelaskan dengan rinci semua yang terjadi, bahkan
sedikit dilebihkan. Entah apa tujuannya, tentu itu sangar tidak etis.
“Oh, ya sudah. Biar aku yang urus belanjamu Lastri. Sekarang kamu pulang,
mungkin suamimu suda menunggu.”
“Tapi, bagaimana dengan belanjaanmu sendiri?”
“Ini cukup kok, sudah menurut saja.”
“Baik Bim, terima kasih. Suatu saat pasti saya kembalikan.” Lastri
meninggalkan lapak warung itu. Menyisakan Bima, si penjual, dan segala urusan
mereka.
***
Melihat kemasannya; sendok takarannya. Terlihat Bima
tidak ingin sedikit pun keliru dalam menakar susu untuk anaknya.
Tiba-tiba ponsel
Bima bergetar dan menyala.
“Aku mau cerita
Bim,”
Itulah yang
tertulis di layar ponsel milik Bima. Sebuah pesan singkat yang berasal dari
Johan.
Belum sempat Bima
mengangkat. Ponselnya kembali menyala; berdering. Panggilan suara dari Johan.
Segera Bima menanggapinya.
“Halo?”
“Bim, Lastri istriku Bim...,” Suara Johan terdengar berat, seperti
sedang menangis.
“Kenapa Istrimu?” Bima kebingungan.
“Dia pulang..., ke ibunya. Bawa Azmi.” Jawab Johan yang tidak lagi
menahan tangisnya. Ia menangis sangat keras di telepon.
Bima menahan suaranya sejenak. Kebingungan mendengar kabar buruk
yang menimpa keluarga temannya. Ia paham betul bagaimana rasanya ditinggal saat
semua sedang berantakan. “Nanti malam, kita ketemu saja. Di tempat biasa.”
***
Malam hari, menjelang pergantian
tahun.
Mereka berdua
bertemu, di gubuk tepi jalanan kota yang muram. Dengan langit yang
terus-menerus ditembaki kembang api. Raut wajah Johan menjelaskan
sebesar-besarnya kesedihan. Saat bibirnya tersenyum, tetapi matanya merah dan
berair. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Tangannya membawa kantong keresek
berwarna hitam. Terlihat berat.
“Apa itu?”
Tanya Bima sembari memfokuskan matanya ke kantong keresek yang dibawa Johan.
Johan membuka
ikatannya. Bibirnya masih meringis. Kantong keresek itu terbuka. 2 botol hijau
dan 2 gelas. Mulut Johan ikut terbuka dan mengeluarkan suara tertawa yang
menyeramkan.
“Ya sudah. Mau bagaimana lagi, aku juga capek.” Celetuk Bima.
Mereka bersulang untuk gelas pertama, gelas kedua, dan larut
bersamanya. Bersulang dan berulang. Hidup dalam jiwanya yang mati.
Komentar
Posting Komentar