Lelaki itu terus memegangi tangan wanita di depannya, mungkin mereka berdua berpacaran. Aku masih tak paham dengan konsep seorang lelaki yang tak pernah melepas tangan wanitanya. Apakah ia takut wanitanya diambil oleh pangeran berkuda seperti pada cerita dongeng? Tapi di Jakarta tak ada pangeran, bahkan kerajaan pun tak ada. Lantas kenapa dia harus takut? Lagi pula siapa yang akan tertarik dengan wanita yang tak pernah menampakkan wujud aslinya. Wajahnya yang cantik tertimbun abu vulkanis.
Ponselku bergetar. Waktu menunjukan pukul 21.00, kendati aku tak melirik sedikit pun ponselku tapi bisa ku pastikan ibulah yang menelponku, ia selalu mengkhawatirkan anak satu-satunya ini terperosok ke pergaulan yang dianggapnya buruk. Aku benar-benar tak berniat mengangkatnya.
Aku masih sibuk menganalisa mereka berdua, duduk berdua di meja paling ujung, hanya memesan dua gelas es jeruk yang masih utuh. Aku tak habis pikir, tidak bisakah mereka melepas genggaman itu sejenak untuk mengangkat dan menuangkan minuman itu ke mulutnya? Kopiku saja sudah habis di lima menit pertama setelah disajikan. Apa yang mereka bicarakan ? Kenapa aku begitu tertarik mendengar obralan mereka. Sudah hampir dua jam. Sepertinya mereka mulai sadar aku sedang memerhatikannya.
Lelaki itu berdiri dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, tak ku sangka ritual itu berakhir. Dia meletakan uang itu di atas meja bersama minumannya yang masih utuh dan segera mengambil kembali tangan wanitanya.a Mereka berjalan melewatiku dan keluar menghilang dari pandanganku. Malam semakin larut, sudah saatnya aku pulang.
Langit Jakarta sedang cantik-cantiknya, tanpa bedak, gincu, dan pensil alis. Jalan menuju rumah begitu sepi dan hening, hanya suara pohon yang tertiup angin. Rembulan menyaksikanku berjalan sendirian. Sedang otakku tak jemu memikirkan wanita di cafe tadi. Dia begitu palsu. Masih ku ingat betul. Bibirnya merah, wajahnya putih lesi, dan bulu matanya yang lentik. Kenapa dia menimbun keindahannya dengan material? Gunung tetap cantik tanpa jalan beraspal yang mengelingkarinya, pantai tetap indah walau tanpa beton-beton bangunan. Mereka berdua menjelaskan ke elokkan kepada siapapun yang memandangnya. Apa yang dia takutkan hingga semua itu harus dirahasiakan?
Dan malam menelanku perlahan.
***
Benarkah aku melihatnya? Diakah itu? Tanpa gincu dan material lainnya. Kemana lelaki kapitalis itu? Tangannya dibiarkan terombang ambing kesana kemari. Dia berjalan sendirian di bawah kejinya matahari, mengenakan sandal jepit biasa, dan rambut hitamnya terikat oleh karet gelang. Aku menyukai keaslian ini.
“Kau?” wajahnya cantik bukan main. Tak ada kepalsuan apa pun kali ini. Semua terlihat nyata. Kulitnya kecoklatan, begitu juga matanya. “Hei! Aku sedang berbicara denganmu”.
“Eh, ada apa?” Aku gelagapan menjawabnya, karena terlalu sibuk memperhatikan keasriannya.
“Kenapa semalam kau terus memandang ke arah tempatku dan pacarku duduk? Apa kau iri karena kau datang sendirian malam itu?” Mulutnya tak mau berhenti meski suaranya tak keluar lagi.
“Iri katamu? Bagaimana aku iri dengan hal yang tidak tulen?” Aku terkekeh, bukan karna aku mengejeknya, tapi raut wajahnya yang tiba-tiba berubah menjadi kebingungan setengah tolol.
“Apa maksudmu?”
“Kenapa kau begitu yakin lelaki itu benar-benar menyukaimu ? Sedang kau tak pernah menyuguhkan wujud aslimu? Hahaha”.
“Itu riasan bodoh, kau tak tahu fashion? Dia yang membelikanku itu semua, biar aku terlihat cantik ketika bersamanya, aku menyukai itu. Itulah bukti dia mencintaiku.”
“Kau tak lebih dari objek imitasi atas wanita yang dia idamkan, kau adalah karyanya! Jika aku mencintai seorang wanita, aku tak akan menuntut perubahan apa pun dari wujudnya, keasliannya adalah bentuk kepedulianku. Gincu merah dan abu vulkanis, itulah yang dia suka. Benarkah kau menyukai semua itu? Bagaimana dengan sepatu hak tinggi yang kau pakai kemarin? Maksudku apakah dia tetap mencintaimu dan bersedia mengencanimu dalam keadaan seperti ini? Mungkin sekedar berbincang pun enggan.” Aku benar-benar di luar kendali, emosiku tersulut karna umpatannya kepadaku.
Plakk!
Tangannya mendarat tepat di pipi kiriku. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, hanya bibirnya yang terus begetar. Volume kedua matanya membesar, menyorotku. Aku terperangah, sebab tak ada yang pernah benar-benar menamparku sebelumnya. Ia mutung dan pergi menyisakan bercak merah di bawah pelipis mataku.
Apa yang salah dari ucapanku? Aku hanya menyadarkannya bahwa bukti cinta seorang lelaki bukan ketika ia memberi modal ke wanitanya untuk membeli alat-alat kosmetik dan berdandan sesuai dengan standar orang-orang bodoh yang menganggap cantik harus putih. Bagaimana dengan mereka yang berkulit gelap? Wajahnya nyaris abu-abu karna putihnya bedak beradu dengan warna kulitnya. Memang tidak ada larangan untuk berkulit gelap, tapi asumsi itu benar-benar memenjarakan keberanian mereka untuk berekspresi dengan apa yang mereka punya. Biarlah mereka tetap merasa cantik dengan keasrian yang telah dianugerahkan oleh-Nya. Seorang lelaki yang peduli akan memerdekakan wanitanya.
***
Malam kembali untuk menghakimiku.
Kursi panjang di taman menjadi pilihanku untuk duduk bermain gitar dan sekedar bercumbu dengan pekat malam di Ibu Kota. Aku tak memilih cafe sebab harus menghemat uangku yang tinggal beberapa lembar sampai akhir bulan. Suara jangkrik menyambutku dengan meriah, bunga-bunga itu sangat antusias menunggu senandungku.
Terjadi lagi malaikatku, terlambat datang
Kebanyakan dandan, wajahnya mustahil telanjang
Berjam-jam di depan kaca, amat di muka
Ia yakin penting, bibirnya rasa strowberry
Sungguh tak penting, aku tak ingin, rasa strowberry, lipstick warna pink
Sungguh tak penting, aku tak ingin, yang aku ingin, ia telanjang
Ranting bergoyang mengikuti irama, bunga-bunga terpukau melihatku bernyanyi dengan para jangkrik. Semuanya baik-baik saja. Hingga.
“Apa maksudmu?” suaranya mengacaukan pertunjukanku, seorang wanita, aku mengenali suara itu.
“Apa yang kau pikirkan? Aku hanya menyanyikan lagu Jason Ranti dengan para jangkrik,” aku enggan melihat wajahnya, dan memilih melihat ke bawah berpretensi dengan gitarku. “Kau paham gitar?.”
Aku tak berniat mengejek mereka, bahkan aku tak menyadari keberadaannya. Aku berpura-pura mengatur senar pada gitarku sembari menunggu jawaban.
“Begitukah caramu berbicara dengan wanita?” kali ini suara lelaki, mereka berdua tepat di depanku, hanya dua pasang sepatu yang ku lihat, dua duanya sama mengilatnya karena terpancar cahaya petromaks.
“Apa yang harus ku lakukan? Apa aku harus memanggil wanitamu dengan sebutan puan dan mengusap-usap kepalanya ?” kini ku tatap wajah mereka berdua, pandangan mereka bermaksud menyudutkanku.
“Brengsek!” Tangan lelaki itu mengepal, kuat.
“Haruskah aku sepertimu? Berpura-pura dan penuh kepalsuan. Apa aku harus baik semua wanita yang ku jumpai? Kurasa tidak, aku akan menunjukkan siapa diriku dan bagaimana diriku. Sebelum aku ditelanjangi dan dipermalukan.”
“Pura-pura? Apanya yang palsu? Aku memberikan setengah gajiku untuknya, karena aku menyayanginya. Kau tahu apa?”
“Untuk apa? Hahaha .... Kau pikir wanita nyaman karna itu? Bahkan kau menghitung pengeluaran selama kau berpacaran, apa kau mempunyai catatannya? Siapa yang suka dipenjara? Itu semua dia terima karna dia mencintaimu, dan kau beraji mumpung. Memproyeksikan orang lain ke dalam dirinya. Kau menyebut ekploitasi ini adalah bentuk rasa sayangmu? Bahkan kau tak tahu betapa tersiksanya dirinya, membangun beton-beton tak penting pada keindahannya, mempertimbangkan setiap langkahnya karna sepatu hak tinggi itu bisa menciderai kakinya. Pernahkah kau memikirkan itu semua?” mereka terdiam menggerutu tanpa suara.
Aku mengangkat gitarku dan berjalan meninggalkan mereka berdua di taman. Mungkin ucapanku begitu kelabu. Bukan maksudku mencampuri urusan mereka, tapi mereka bertanya kepadaku, dan selalu mencoba membuatku tampak bodoh di depannya. Aku berjalan. Semakin jauh membiarkan mereka yang terlanjur emosi karenaku.
***
Jakarta, kota yang teramat sibuk. Semua orang tergesa-gesa menjalani harinya, tak pernah ada waktu untuk sedikit berleha-leha. Begitu juga cuacanya yang tak pernah ramah, mati tenggelam saat penghujan, mati sesak napas ketika kemarau.
Samar ku lihat, ia menguncup di siang hari, di tengah bunga-bunga lain yang bermekaran. Begitu teduh dan sendu di saat matahari sedang tega-teganya. Aku berniat menghampirinya.
“Apa yang kau lihat? Puas kau melihatku, tertawalah!” matanya merah, aku melihat kekecewaan di rautnya.
“Maaf, bukan maksudku—“
“Untuk apa kau meminta maaf? Aku mengagumimu, sangat. Hingga aku terlalu membencimu. Kau tak boleh selalu benar” keasrian yang ku agung-agungkan begitu teduh saat ini.
“Kau boleh menamparku,”
“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku. Biarkan tubuhmu ku peluk seerat mungkin, hingga hancur bersamaku” ke dua tangannya meraihku, air mata membasahi wajahnya. “Setelah perkataanmu malam itu, kami berdua tertunduk bisu. Diriku terlalu angkuh, tak mau jujur bahwa aku selalu setuju dengan pendapatmu tentang diriku, tentang gincu, dan bedak yang kau sebut abu vulkanis. Semua yang kau katakan benar, perkataanmu menciptakan pertanyaan beragam di hatiku, aku meragukan kesetiaan tuanku. Pagi tadi aku memberanikan diri, berpenampilan sama seperti yang kau lihat saat aku menamparmu, matanya berubah, ia menggusariku di depan banyak orang. Dia menunjukan siapa dirinya, lantas pergi tanpa ucapan selamat tinggal. Kami berdua benar telanjang saat itu, kami saling menelanjangi diri sendiri. Ku sadari akulah karyanya. Semuanya berakhir begitu saja.” air matanya mengambang.
“Lalu apa yang kau tangisi? Harusnya kau sedang berpesta saat ini, merayakan kemerdekaanmu, kau bisa menjadi dirimu seutuhnya,” aku membalas peluknya. “Tak ada yang perlu kau timbun lagi, aku bersamamu.”
Tak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya. Tubuhku diikat oleh tangannya, tubuhnya bersarang di dekapanku. Dia kelelahan, matanya sayu. Aku tak akan membiarkannya terpenjara lagi, apa lagi melihatnya dijadikan objek imitasi oleh lelaki brengsek. Biarkan dia mendapatkan keleluasaan atas dirinya sendiri. Tidaklah mudah menjadi orang lain di saat mempunyai keinginan: menjadi diri.
“Aku tak akan memaafkannya, meski dia bersujud dan mengemis kepadaku” suaranya bergetar.
Aku mengeratkan pelukanku. “Semua akan baik-baik saja, tidak ada yang perlu disesali, kau tidak boleh terus menerus bersedih seperti ini.”
Matahari berayun, semua berjalan sangat cepat. Ia melepaskan pelukannya dan tersenyum kepadaku sebelum akhirnya berjalan membelakangiku, menjauh, meninggalkanku hingga kerumunan orang itu menelannya, tak ku lihat lagi sosoknya.
PRODUCTIVE30DAYS #PWSPRODUCTIVE30DAYS #PWSCERPENP30D #PASSIONWRITE
Jujur, keren ... Amanatnya dapet banget😭 diksimu keren ...
BalasHapusMungkin masih banyak kesalahan PUEBI aja🙇
Intinya, tunjukkan dirimu apa adanya👻
Wkwkwkw iya choi siap
HapusPLIS KEREN BGT WOI
BalasHapusGa sengaja🗿🗿🗿
HapusPARAHHHH BAGUSSS BATT WOIIII������
BalasHapusAjaran lu inii kan wkwk
HapusRen subhanallah
BalasHapusMel mel wkwkwk
HapusThanks yang udah mampir wakakakakaa
BalasHapusGua tunggu yang selanjutnya lagi wkwk
HapusGua nunggu cerita lu juga nih hahahaa
HapusRENDII AKS BAPER😭😭
BalasHapusKERENNNNN HUHU, AYO DEBUT DI WATTPAD😡😡
Ga ah wattpad rame, takut wkwka
HapusPantesan kagak mau spoiler, ternyata bagus bangettt Renn. Gw baper astaghfirullah
BalasHapusSubhanallah'(
HapusDia begitu palsu. Masih ku ingat betul. Bibirnya merah, wajahnya putih lesi, dan bulu matanya yang lentik. Kenapa dia menimbun keindahannya dengan material? Gunung tetap cantik tanpa jalan beraspal yang mengelingkarinya, pantai tetap indah walau tanpa beton-beton bangunan.
BalasHapusWow gua tertampar sampe mampus ini:(
Ren coba ikut lomba cerpen POV para juara cerpen mirip kek kamu ahhh gas ayo gas
BalasHapusAmel kan juaranya wakaka
HapusBelum anjir kl dah juara mah fully funded wakaka
HapusKok bisa kepikiran sampe sejauh ini, salut ngab..
BalasHapusPikiran traveling bund wkwk
Hapus