Langsung ke konten utama

Jeruji Asumsi

Wajan ini sangat menjengkelkan, apa kau marah? Aku tak sengaja melakukannya. Maafkan aku, dan segeralah lepaskan gosongmu. Aku terus menggosoknya, berulang kali, tapi dia sangat keras kepala. Sebentar lagi ibu pulang, dia akan memarahiku sekaligus menceritakan sejarah wajannya. Serba-serbi tentang wajannya.
             “Millaaaaa!!”
             Ah, sudah. Segera ku bereskan urusanku dengan wajan sialan itu dan segera ke depan, karena pasti ibu sudah menungguku. Ia masih berdiri di depan pintu, tangan kirinya menenteng kantong kresek berwarna hitam, kelihatannya berat.
             Aku memandang wajahnya perlahan, sorot matanya langsung menghunjam ke arahku, penuh penghakiman.
            “Kamu belum menyapu? Dari mana saja? punya anak kok malasnya kebangetan.” Jarinya menunjuk ke semua sudut yang dianggapnya kotor.
            Apa yang harus ku katakan? Haruskah ku jelaskan yang ku lakukan di belakang tadi? Tidak, itu sama saja bunuh diri. Pertanyaanya ku biarkan tersapu angin.
            “Harus diingatkan terus? Mau sampai kapan?” ia mengambil sapu yang tergeletak tepat di sebelahnya. Dan dilayangkan ke tubuhku.
            Tidak ada opsi lain selain segera   membersihkan sudut-sudut yang ibu tunjuk tadi. Cara ibu memberikan sapu membuatku berpikir agak ngawur tentang hubunganku dengannya, sudah seyogianyakah perilaku ibuku ke putrinya ini? Sementara abangku hanya berleha-leha di kamarnya, hidupnya tak terusik oleh rentetan tuntutan seperti yang ditujukan kepadaku, bertolak belakang dengan apa yang terjadi padaku.
              Semua sudah bersih, harusnya tidak akan   ada lagi makian untuk hari ini.
             “Milla!”
              Aku keliru, yang barusan cuma pemanasan.
            “Kenapa bisa begini?” tangannya mengelus-elus permukaan wajan itu dengan penuh kasih sayang. Dan seketika aku ingin sekali menjadi wajan.
            “Tadi Milla goreng telur, tapi lupa mematikan kompor.”
           “Goblok! Kamu tau tidak ini harganya berapa?” wajahnya merah, matanya terus melotot kepadaku.
            Dugaanku benar, dia mulai berfilsafat tentang wajannya, mulut tak ada hentinya berbicara ini itu. Aku tidak tahu butuh berapa bulan untuk mengafal semuanya. Yang ku lakukan hanya menundukkan kepala dan mengunyah semua ucapan yang dilontarkannya, aku tetap mencoba menghormatinya karna dia ibuku.
           Tak ada lagi suara ibu. Apa yang terjadi? Ia menyudahinya begitu cepat. Bahkan aku tak melihat dia pergi ke penjuru mana.

                             ***

“Sejahat apapun, segalak apapun, dan sekeras apa pun seorang ibu, kita tidak boleh berani dengannya. Kalian-kalian ini, harus menyayangi ibu. Karena surga ada di telapak kaki ibu, kalo sampai durhaka, bisa tidak kita masuk ke surga-Nya?”
            “Tidak bu,” semua temanku sepakat.
            “Nah, kita sebagai anak harus berbakti ke ibu selagi masih ada. Ya, saya rasa sudah cukup untuk hari ini, sampai jumpa di lain hari. Assalamualaikum,” ucap bu Nur lantas meninggalkan kelas dan beberapa pertanyaan di benakku.
             Semuanya menjawab salam. Dan berberes, memasukan kembali buku yang ada di atas meja ke dalam tas. Sementara aku masih di sibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul karena penjelasan bu Nur tadi. Anak mana yang berani pada ibunya? Menatap saja sudah menyeramkan. Tapi sungguh, aku penasaran apakah seorang ibu bisa durhaka ke anak? Dan masuk neraka karena tak memperlakukan anaknya dengan kasih sayang. Atau, kenapa setiap hal buruk yang dilakukan ibu ke anaknya selalu berdalih untuk kebaikan anaknya? Itu sudah sangat klise. Mungkinkah seorang ibu kalis akan dosa? Jika iya, aku tak mau mati sebelum jadi ibu.

                                   ***

“Pak, ibu kemana?” tanyaku ke bapak yang masih duduk melamun di teras.
            “Bapak enggak tau. Katanya cuma mampir ke rumah teman lamanya, tapi ini sudah hampir malam, langit pun mulai cerewet.” Ia berkali-kali melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. “Kamu masuk aja, di luar anginnya enggak ramah.”
            Aku kembali masuk ke rumah, tidak lama setelahnya bapak menyusul di belakangku.
           “Agung ... Coba kamu hubungi ibumu, mungkin kejebak hujan, suruh dia neduh saja dulu,” kata bapak dengan nada sedikit keras.
            “Iya pak.” Suara mas Agung menyeruak dari dalam kamar.
Aku memandangi wajah bapak yang sudah mulai menua, keriput pada ekor matanya, dan uban yang mulai menghiasi kepalanya. Ia balik memandangku dan mengusap-usap kepalaku. Ini ajaib, tiba-tiba aku merasakan kehangatan yang luar biasa, dia tersenyum padaku. Tak pernah ku dapatkan dari seseorang yang katanya memiliki surga di telapak kakinya.
              “Pak, apa kita di wajibkan masuk surga?”
              Wajah bapak seketika berubah.                     “Ada apa? Kenapa kamu tanya itu?”
              “Ada yang salah? Karena jika itu bukan kewajiban, mungkin aku tak perlu menuruti semua permintaan ibu, dan apakah neraka hanya milik seorang anak yang durhaka pada ibunya? Apa ibu bisa masuk neraka juga? Apa yang istimewa dari surga pak?” Akhirnya pertanyaan itu terlepas dari belenggu.
             “Siapa yang mengajarimu? Dengar, surga neraka itu bukan urusan kita, tugas kita adalah selalu berbuat baik kepada siapa pun, neraka tempat mereka yang selalu berbuat buruk. Kamu terlalu terobsesi dengan kebebasan,” tangannya memegang kuat bahuku, dia benar-benar serius kali ini.
              “Bu Nur, tadi pagi dia mengatakan orang yang durhaka tidak bisa masuk surga. Menurut mu pak, surga untuk orang yang senantiasa baik, dan begitu juga sebaliknya, tapi bukankah keduanya bersifat relatif? Bahkan untuk urusanku sebagai anak dengan ibunya, yang aku anggap buruk, justru dianggap baik oleh ibu. Menurutku penerima lebih tau dampaknya, dibanding pemberi. Aku memang mendambakan kebebasan, surga menjanjikan itu?”
             Bapak hanya terdiam memandangku, aku tak mengerti apa maksa tersirat dari pandangannya. Mungkin dia kecewa karna anaknya tak tumbuh seperti harapannya, atau dia kaget karna putrinya yang berusia 15 tahun mengeluarkan semua pertanyaan itu dari mulutnya.
             Tiba-tiba terdengar batuk yang sangat parah dari luar, mengalihkan perhatian bapak. Aku membuka pintu. Ternyata ibu, dia basah kuyup.
              “Apa yang kamu lihat?, panggilkan bapak cepat!” Bahkan saat batuknya sudah parah, ibu masih punya tenaga untuk membentakku.
               Bapak keluar, dan segera membantu ibu masuk. Sementara aku masih di teras, pertanyaanku belum terjawab, kepada siapa harus bertanya? Ah, sudahlah.

                                ***

             “Milla!” Suaranya memekakkan telingaku.
Pandanganku masih redup, aku tidak melihat siapa yang memanggilku dengan nada keras itu.
             Terdengar lagi, suaranya memenuhi seisi rumah.
            “Udah siang, bangun jangan tidur melulu! Gimana mau jadi orang sukses jam segini masih merem.”
            Aku memaksa mataku untuk melek, baru jam setengah 5 pagi, sukses seperti apa yang dia pikirkan. Kurasa insinyur pun tak bangun secepat ini.
           “Malah melongo, bangun terus sapu ini semua! Ibu harus pulang ke rumah nenek untuk 5 hari.”
           Aku tak berniat menanyakan tujuannya pulang ke rumah nenek, ini justru memberiku sedikit waktu untuk memadu kasih dengan kasurku dan membaca buku novel.
            Lantai ini memang sudah berdebu, aku menyisir setiap ruangan hingga benar-benar bersih. Ibu terlihat di muka pintu sedang berpamitan dengan bapak dan mas Agung, membawa koper yang berisi pakaiannya. Entah kenapa kali ini aku melihatnya agak lain dari biasanya. Mobil taksi itu membawanya pergi. Mas Agung kembali ke singgasananya, dan bapak segera bergegas menaiki motor tuanya untuk pergi berangkat kerja. Tiba-tiba aku teringat.
              “Kita sebagai anak harus berbakti kepada ibu, selagi masih ada.” Wajah bu Nur berkelebatan di kamarku, ucapannya hari itu menghantuiku.
               Kenapa aku merasa durhaka? Padahal tak ada perintahnya yang ku langgar. Bahkan aku tak melakukan apa yang dilarang bu Nur di hari itu.

                                    ***

Sudah hari ke 5 semenjak ibu pulang ke rumah nenek, kabarnya ia akan pulang pagi ini. Aku harus membereskan semuanya sebelum aku di kutuk olehnya.
              “Ibu pulang hari ini pak?”
              “Iya, diantarkan paman naik mobil, mungkin siang nanti ibu sudah sampai.”
              “Oh, begitu.” Aku hanya mantuk-mantuk, bahkan sebenarnya tak peduli kapan ibu sampai rumah.
              Telpon bapak berdering, ia segera mengangkatnya. Sepertinya urusan kerja, aku kembali ke kamar meninggalkannya di ruang tamu. Lama-kelamaan suaranya begitu riuh, merusak imajinasiku yang sedang menari. Aku memutuskan untuk menengoknya.
               “Ada ap—“ Suaraku tak mau keluar, aku melihat ayah menangis.
Perkataan apa yang keluar dari telepon? Hingga membuat seorang kesatria roboh tak berdaya.
              “Mas Agung!” Aku memanggilnya karena aku bingung harus apa.
              “Loh, bapak kenapa?” Ia mengerutkan keningnya.
               “Ibu nak,” ucap ayah singkat.
Tiba-tiba mas Agung juga ikut tertunduk lesu, apa maksud dari ucapan bapak? Aku tak paham, mereka berdua sibuk mengelap mata mereka, aku dibiarkan kebingungan. Apa yang terjadi?
               “Ada apa pak?” Tanyaku .
               Tidak ada jawaban apapun dari bapak, selain tangannya yang meraihku dan memelukku begitu erat. Belum terjawab pertanyaanku, tiba-tiba tetangga mengunjungi kami.
               Apa yang mereka lakukan, mereka menepuk bahu bapak beberapa kali sembari menyuruh sabar. Musibah apa yang kami alami? Aku kebingungan setengah mati. Di luar sudah banyak orang, mereka memasang bendera kuning, untuk apa? Bukankah itu bendera kematian? Siapa yang mati?
                                ***
Ambulans dan mobil polisi parkir didepan rumahku, mereka mengeluarkan bungkusan besar dari pintu belakang ambulans, jenazah siapa yang diantar kerumahku? Bapak masih terbujur tak berdaya. Aku melihat semuanya, bapak, mas Agung dan raut redup para tetangga yang hadir.
             Bungkusan itu dibuka perlahan, bapak melihat dengan saksama. Wajahnya terlihat, orang itu, aku mengenalnya walau tak begitu dekat, dia ibuku. Mas Agung lari kebelakang sambil menutupi wajahnya, bapak kembali roboh. Semua histeris, kecuali aku yang masih bingung
5 hari lalu ibu membentakku, dia berpamitan pada bapak dan mas Agung terakhir kali aku melihatnya ketika dia duduk manis di kursi belakang sebuah taksi. Tak ada lagi, kini dia hanya berbaring dengan wahah pucat di dalam bungkusan itu. Bahkan di saat terakhir aku berinteraksi dengannya, hanya ada hardikannya, tidak ada ucapan selamat tinggal atau sekedar melambaikan tangan kepadaku.
              Ibu meninggalkan kita semua, dia lebih dulu mencicipi surga di telapak kakinya sendiri. Aku bingung, haruskah aku sedih karena ibuku, orang yang melahirkanku, orang yang dianggap bisa menjamin surgaku kini memicingkan mata selamanya. Atau senang karena kebebasan yang ku idam-idamkan sejak lama kini ku dapatkan, aku tak perlu repot lagi menghambanya.



#PRODUCTIVE30DAYS #PWSPRODUCTIVE30DAYS #PWSCERPENP30D #PASSIONWRITE




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Edelweiss

Lelaki itu terus memegangi tangan wanita di depannya, mungkin mereka berdua berpacaran. Aku masih tak paham dengan konsep seorang lelaki yang tak pernah melepas tangan wanitanya. Apakah ia takut wanitanya diambil oleh pangeran berkuda seperti pada cerita dongeng? Tapi di Jakarta tak ada pangeran, bahkan kerajaan pun tak ada. Lantas kenapa dia harus takut? Lagi pula siapa yang akan tertarik dengan wanita yang tak pernah menampakkan wujud aslinya. Wajahnya yang cantik tertimbun abu vulkanis.              Ponselku bergetar. Waktu menunjukan pukul 21.00, kendati aku tak melirik sedikit pun ponselku tapi bisa ku pastikan ibulah yang menelponku, ia selalu mengkhawatirkan anak satu-satunya ini terperosok ke pergaulan yang dianggapnya buruk. Aku benar-benar tak berniat mengangkatnya.            Aku masih sibuk menganalisa mereka berdua, duduk berdua di meja paling ujung, hanya memesan dua gelas es jeruk yang masih utuh. Aku tak h...

bacalah sebelum membaca yang lain

Hai, selamat datang di blog pribadi saya. Blog ini saya buat semata-mata karna keisengan saya, dan tentu saja tidak bertujuan untuk memuaskan anda apalagi membuat terhibur, jika anda terhibur anggap saja itu kebetulan.  Blog ini akan berisi pikiran acak saya yg saya ketik tentunya. Tolong jangan berharap apapun pada blog saya, karna saya akan sangat merasa terbebani. Alih-alih membuat anda berilmu, dengan membaca blog ini justru membuat anda buang-buang waktu yang seharusnya bisa untuk mencari ilmu. Saya harap anda bisa memahaminya. Sekian. Terimakasih.