Langsung ke konten utama

bacalah sebelum membaca yang lain

Hai, selamat datang di blog pribadi saya. Blog ini saya buat semata-mata karna keisengan saya, dan tentu saja tidak bertujuan untuk memuaskan anda apalagi membuat terhibur, jika anda terhibur anggap saja itu kebetulan. 

Blog ini akan berisi pikiran acak saya yg saya ketik tentunya. Tolong jangan berharap apapun pada blog saya, karna saya akan sangat merasa terbebani.

Alih-alih membuat anda berilmu, dengan membaca blog ini justru membuat anda buang-buang waktu yang seharusnya bisa untuk mencari ilmu.

Saya harap anda bisa memahaminya. Sekian. Terimakasih.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Edelweiss

Lelaki itu terus memegangi tangan wanita di depannya, mungkin mereka berdua berpacaran. Aku masih tak paham dengan konsep seorang lelaki yang tak pernah melepas tangan wanitanya. Apakah ia takut wanitanya diambil oleh pangeran berkuda seperti pada cerita dongeng? Tapi di Jakarta tak ada pangeran, bahkan kerajaan pun tak ada. Lantas kenapa dia harus takut? Lagi pula siapa yang akan tertarik dengan wanita yang tak pernah menampakkan wujud aslinya. Wajahnya yang cantik tertimbun abu vulkanis.              Ponselku bergetar. Waktu menunjukan pukul 21.00, kendati aku tak melirik sedikit pun ponselku tapi bisa ku pastikan ibulah yang menelponku, ia selalu mengkhawatirkan anak satu-satunya ini terperosok ke pergaulan yang dianggapnya buruk. Aku benar-benar tak berniat mengangkatnya.            Aku masih sibuk menganalisa mereka berdua, duduk berdua di meja paling ujung, hanya memesan dua gelas es jeruk yang masih utuh. Aku tak h...

Jeruji Asumsi

Wajan ini sangat menjengkelkan, apa kau marah? Aku tak sengaja melakukannya. Maafkan aku, dan segeralah lepaskan gosongmu. Aku terus menggosoknya, berulang kali, tapi dia sangat keras kepala. Sebentar lagi ibu pulang, dia akan memarahiku sekaligus menceritakan sejarah wajannya. Serba-serbi tentang wajannya.              “Millaaaaa!!”              Ah, sudah. Segera ku bereskan urusanku dengan wajan sialan itu dan segera ke depan, karena pasti ibu sudah menungguku. Ia masih berdiri di depan pintu, tangan kirinya menenteng kantong kresek berwarna hitam, kelihatannya berat.              Aku memandang wajahnya perlahan, sorot matanya langsung menghunjam ke arahku, penuh penghakiman.             “Kamu belum menyapu? Dari mana saja? punya anak kok malasnya kebangetan.” Jarinya menunjuk ke semua sudut yang dianggapnya kotor.           ...