Hujan di bulan januari memang selalu
mengesalkan, terlalu angkuh untuk diharapkan ramahnya. Merdunya azan magrib
yang diikuti irama gemuruh guntur dan nyanyian rintik hujan memeriahkan sore.
“Mbok, mbok Iyem!” tak mau kalah
dengan bising hujan, mulutnya tak henti-henti mengeluarkan kata yang sama
berulang kali dengan keyakinan suaranya akan menembus pintu dan masuk ke dalam
rumah. Kali ini diketuknya pintu dengan ritme yang lebih cepat dan kasar. Tak
lama terdengar langkah kaki yang begitu
lirih dari balik pintu dan pintu
perlahan terbuka diiringi suara khas engsel pintu yang sudah berkarat
“Maaf, suara hujan mengganggu
pendengaranku, ada apa Arya?” seorang wanita tua, berkulit keriput, berambut
hitam pekat, lengkap dengan kain batik yang melingkar pada tubuhnya yang renta
di gerogoti usia.
“Istri saya, mau melahirkan,” sembari
mengelap wajahnya yang basah terkena hujan.
“Sebentar,” ia kembali masuk rumahnya dengan
jalannya yang tergopoh, mungkin mengambil beberapa perlengkapan. “Ayo kesana!”
payung ditangan kanannya, dan sebuah tas anyaman beserta isinya di tangan kiri.
Mereka mulai berjalan.
Kalau saja aku tak diajari tata krama,
mungkin aku akan menggendong mbok Iyem dan berlari secepat mungkin untuk sampai
rumah, pikir Arya. Bagaimana tidak kesal, langkahnya seperti orang bimbang,
bahkan jarak antar keduanya tidak lebih jauh dari jarak telinga kanan dengan
telinga kiri.
Langkah mereka berhenti tepat di depan rumah
berarsitektur khas tahun 90-an
“Ratie di kamar,” kata pertama yang
terdengar dari salah satu orang yang turut hadir untuk melihat seorang anak
yang akan lahir di sore itu. Ketegangan benar benar memenuhi ruangan,
menciptakan suasana panas walaupun diluar hujan tak jemu membasahi bumi. Hanya mbok
Iyem dan sepasang suami istri yang berada di kamar itu, sementara yang lain di luar
kamar, menanti kabar baik atau justru kabar buruk yang harus didengarnya. Sebagian
di ruang tamu, dan sebagian lagi menunggu di depan kamar, sembari mendengarkan
dan meduga-duga apa yang sedang terjadi didalam.
***
“Alhamdulillah...,”
suara mbok Iyem membaur dengan suara parau Arya.
Semua berdiri, berdesakan masuk ke
kamar, dengan wajah gembira menyambut kedatangan manusia baru di kehidupan
mereka.
Arya
lekas mengambil anaknya dari tangan mbok Iyem. Ia mengecup kening anaknya
berulang kali dengan bibirnya yang terus melafalkan hamdalah. Ia memandangi
semua yang menyaksikan peristiwa bahagia itu, seakan memproklamasikan kelahiran
anak sulungnya.
“Kumandangkan
azan untuk anak kita.” Ratie tersenyum, namun tak dapat lagi menahan air matanya
melihat suaminya yang begitu bahagia.
Arya mendekatkan bibirnya ke telinga
anaknya. Azan dikumandangkan. Semua mata tertuju pada Arya. Si bayi tetap
konsisten menangis pijar, tangisan bayi sangatlah misterius tak ada seorang pun
yang paham artinya. Entah bahagia karna dirinya telah lahir dan membayangkan
hari-hari menyenangkan yang akan dilaluinya setelah terkurung didalam rahim
seorang ibu selama 9 bulan, atau bahkan sebaliknya, dia benar-benar menangis,
meratapi nasibnya kini dia harus menjalani kehidupan yang sering kali kurang
ajar dan dipaksa untuk menikmatinya.
Ratie benar-benar kelelahan. Ia mengatupkan matanya dan sekali menghela
napas.
“Ratie ini anak kita, anak pertama
kita, kenapa kau tertidur? Kau tak boleh melewatkan momen ini,” kali ini si
bayi direbahkan di samping ibunya, kendati tidak ada reaksi apapun dari Ratie.
“Nak, ini ibumu cantik bukan? Tapi sayang ibumu kelelahan, dia tertidur pulas.”
Semuanya gagap menanggapi apa yang baru
saja terjadi di depan mereka. Mbok Iyem tergerak untuk mengecek keadaan Ratie,
walaupun Ia bukan dokter akan tetapi mbok Iyem sudah berpengalaman akan hal
ini. Mbok Iyem menyudahinya, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari
bibirnya. Suasana menjadi hening, berpasang-pasang sorot mata memandangi mbok
Iyem, mendesaknya agar menjelaskan sejelas-jelasnya keadaan Ratie. Hanya air
matanya yang tak tertahan lagi, deras mengalir menuju dagunya. Semuanya
menyadari itulah jawabannya. Kecuali Arya.
“kenapa? Ratie enggak apa-apa kan?”
wajah Arya menunjukan raut bingung tak percaya.
Tak ada yang kuasa menjawab pertanyaannya.
Seluruh ruangan riuh dengan tangis. Arya masih tidak percaya. Terlahir sebagai
seorang lelaki tak membuatnya kebal akan kesedihan.
“Akan kau beri nama apa untuk bayi
cantikmu ini Arya ?” tanya mbok Iyem sembari mengelus-elus kepala mungil si bayi.
“Nadira mbok, Nadira” katanya dengan
nada yang agak keras.
“Nama yang cantik, sesuai dengan
wajahnya yang cantik mirip ibunya,” kini menatap melas pada Arya. Arya menangis
tersedan-sedan, memeluk Ratie dan Nadira.
Ratie memang tidak tahu diri, Bahkan disaat
kematiannya dia tetap cantik. Disaat semua orang menangisi kepergiannya dia
tetap mempertahankan kecantikannya.
Tanah merah yang basah menjadi
tempat tidur paling nyaman untuk istrinya saat ini. Tak pernah terbayangkan
olehnya akan secepat ini. Yang dia tau, semalam dia mengumandangkan azan ke
anaknya yang baru lahir untuk pertama kalinya, dan sekarang dia kembali harus
mengumandangkan azan ke istrinya untuk terakhir kali. Arya terjebak di dalam
kekalutan dan kebingungan.
***
Arya terpaksa harus mencukupi kebutuhan Nadira
seorang diri. Pekerjaan Arya ialah buruh tani, petani yang tidak memiliki
ladang sendiri. Panggilan untuk menggarap sawah menjadi hal yang selalu dinanti
oleh Arya. Setiap berangkat bekerja Arya selalu menitipkan Nadira pada
tetangganya. Bi Ningsih, begitulah Arya memanggilnya. Janda tua yang ditinggal
suaminya sejak 10 tahun lalu, yang meninggal karna serangan jantung. Bi Ningsih
merawat Nadira dengan kelembutan. Ia tidak meminta upah, bahkan ketika Arya
memaksanya menerima upah Bi Ningsih tetap menolak.
Nadira tumbuh menjadi anak yang
aktiv, cantik, dan ramah. Nadira kecil lebih akrab dengan Bi Ningsih ketimbang
Ayahnya sendiri. Wajar saja Nadira bertemu dengan ayahnya hanya pagi dan malam.
Dan suatu pagi sebelum berangkat ke
ladang Arya menemui bi Ningsih yang baru pulang dari mushola usai Shalat subuh.
“Bi, sebentar aku mau ngomong” wajah Arya terlihat resah, kedua tangannya sibuk
memegang ember dan cangkuk yang berada dipundak kanannya.
“ngomong opo ?” Bi Ningsih mengerutkan
dahinya.
“Nadira sering tanya soal ayahnya enggak bi ?”
tanya Arya dengan nada pelan.
“Tanya kamu ? Ya sering, dia anakmu kok”
Tangannya sekarang sibuk melipat mukenah putih yang sudah agak lusuh. Tak
memberikan kesempatan arya untuk menjawab Bi Ningsih langsung melanjutkan “dia
selalu mengeluhkan kenapa kamu enggak pernah ada waktu buat Nadira. Anakmu ini
cerewet, banyak tanya, tapi cerdas. Kamu kerja saja, Nadira biar bibi yang
urus”. “Oh gitu, ya sudah aku berangkat ke ladang dulu Bi” Arya merasa bersalah
setelah mendengar cerita Bi Ningsih.
***
Genap 6 tahun usia Nadira. Daftar sekolah
sudah menjadi buar bibir dimana-mana. Sudah selayaknya anak seusia Nadira akan
merasakan hari pertama masuk sekolah. Pagi hari terakhir sebelum pendaftaran
ditutup Arya duduk di kursi bambu buatannya sendiri, memandang nanar. Merenungi
nasib anaknya yang masih belum jelas antara daftar sekolah atau tidak.
Nadira tiba-tiba datang menyudahi
lamunan ayahnya “Yah, Nadira kapan daftar sekolah ?”.
Hancur sudah hati Arya mendengar
pertanyaan anaknya. “Nak, besok kalau ada uang lebih kamu ayah daftarkan
sekolah” tak disadari air matanya menetes, buru buru Arya mengelap wajahnya yang
basah oleh air mata itu dilihat oleh anaknya. Nadira bersorak gembira dan
langsung berlari sembari berteriak “aku sekolah, sekolah!”. Kali ini Arya tak
beniat lagi menahan tangisnya. Deras membasahi pipinya.
Tidak lama setelahnya, datang pria
berkumis tebal, Pak Cahyo namanya. Pemilik ladang yang biasa digarap Arya.
“Anakmu mau disekolahkan di mana?” tanya Pak Cahyo yang baru turun dari mobil baknya
sudah mulai berkarat.
“Itu biar jadi urusanku, ada apa pagi buta
kemari?” Arya menatap ke lantai yang masih menggunakan semen.
“Oh iya maaf, tidak ada apa-apa
cuma mampir” pak Cahyo duduk menyenderkan tubuhnya ke tembok rumah.
“mau kopi ?” tanya Arya sembari
mengangkat secangkir kopi.
“Tidak usah repot-repot, Nadira itu
sudah saatnya sekolah kau harus pikirkan itu”.
“Aku sudah memikirkan itu, tak perlu
mengkhawatirkan nasib anakku”.
Pak
Cahyo tidak kesal dengan respon Arya yang serba ketus. Pak Cahyo sudah kenal
lama dengan Arya sehinga bisa memahami disaat seperti ini. “Bentar lagi kita
panen, kerjamu bagus, mungkin bisa ada tambahan sedikit nanti” ungkap Pak Cahyo
yang berusaha mengalihkan topik.
“terima kasih banyak” kini sedikit senyum Arya
mulai terbentuk kembali.
Pembicaraan berlanjut berjam-jam.
Sejenak berhasil membuat Arya tidak kepikiran dengan sekolah Nadira.
***
Nadira duduk di pintu rumah bi
Ningsih, menunggu ayahnya pulang dari pekerjaannya. Bersamaan dengan
tenggelamnya mata hari, Arya pulang dan segera menghampiri anaknya.
“Sedang apa duduk di luar rumah?”
Nadira tak berniat menjawabnya,
menunggu bukanlah hal yang menyenangkan bahkan untuk anak umur 6 tahun.
“Ayo pulang, nanti ayah bacakan
cerita”
“Cerita apa? Ayolah ayah
ceritakan tentang para wayang” Nadira tak
pernah bisa menolak tawaran seperti ini.
Waktu menunjukan pukul 21.35 WIB, sudah waktunya cerita yang dijanjikan Arya didengar oleh Nadira. Arya masuk kamar Nadira untuk memenuhi janjinya. Nadira sangat antusias melihat ayahnya yang akan membacakan cerita untuknya. Kali ini Arya menceritakan tentang Ekalaya dalam cerita Maha Barata.
Nadira memotong cerita ayahnya “Ayah, apakah seorang Ekalaya ada di dunia nyata?”
“semua orang bisa jadi Ekalaya nak”
“Apa iya?”
“Iya bahkan Nadira bisa jadi Ekalaya”
“sungguh? Tak perlu sekolah?” Nadira terus bertanya pada ayahnya.
“Sudah waktunya kau tidur, sudah malam” Arya merasa sudah terlalu malam untuk membicarakan hal ini.
***
“Nadira, ayah mau bicara” Arya mencegat anaknya yang baru bangun tidur, biasanya pagi hari Nadira akan bermain dengan temannya.
“Ada apa? Ayah mau mendaftarkanku sekolah?” sorot matanya penuh rasa penasaran.
“Maaf, ayah tak bisa melakukannya” Arya menarik napasnya, dan menunggu jawaban dari anaknya.
“kenapa? Semua temanku sekolah!” Nadira mulai merengek, Ia mengusap air yang mengalir melalu pipinya.
“Kamu istimewa nak, kamu adalah Ekalaya, kamu tak membutuhkan sosok guru, ayah yang akan mengajarimu” Arya tak mau menjelaskan alasan sebenarnya.
Nadira berlari meninggalkan ayahnya. Arya tak berniat mengejarnya, ia memahami apa yang dirasakan anaknya. " besok aku harus mulai mengajarinya" ia mengatakannya pada diri sendiri.
#PRODUCTIVE30DAYS #PWSPRODUCTIVE30DAYS #PWSCERPENP30D #PASSIONWRITE
Sumpah, ini tuh bisa lebih tapi gua gada waktu, amsori'(
BalasHapusDasarrr:"
HapusYaampun
BalasHapusFiks gua bayangin Ratie catkep banget kek guaš
BalasHapusAhaha mengotori imajinasinya Rendi
Asek
Hapussaya jd fans rendi
BalasHapusTidur tidur heh
Hapus